“Tidur,
bukannya tidak mau atau mungkin tidak bisa.
Saya hanya
takut terjaga.
Bisakah
bertemu mimpi jika khawatir yang menutup mata ?
Tidurlah,
dan hiduplah dengan tenang!”
Itu beberapa
kalimat yang saya catat sewaktu menemani nenek dulu.
Saat menemani
nenek tidur, saya selalu khawatir nenek akan pergi tiba-tiba.
Saat itu memang nenek sudha sakit-sakitan.
Tanpa saya
sadari kadang saya tertidur dengan menatap bahu nenek.
Lewat bahu nenek, saya tahu nenek belum pergi.
Lewat bahu
nenek, saya tahu saat nenek menangis tertahan.
Lewat bahu
nenek, saya tahu saat nenek merindukan kakek.
Lewat bahu
nenek, saya tahu nenek tidur sambil menatap buku.
Iyah, buku
yang bertuliskan tanggal kepergian kakek.
Selarut
apapun malam, nenek akan dengan betah menatap buku catatan beliau yang bertuliskan tanggal
kepergian kakek di belakang sampulnya. Lagi, bahkan setiap kali terjaga
dibukanya kembali buku itu atau hanya sekedar memperbaiki letak buku, nenek
akan terus menatap tanggal kepergian kakek. Meski hanya dengan diterangi sinar
senter kecil miliknya, dalam kamar redup yang selalu jadi alasannya untuk tidak
berlama-lama di rumah anaknya yang lain.
Nenek tidak
akan bertahan dalam waktu lama untuk tinggal di rumah anak-anaknya. Beliau
selalu merindukan tempat beliau dan kakek menghabiskan waktu sebelum kakek
pergi. Nenek akan bertahan ditempat itu, meski harus mengorbankan perasaannya.
Mungkin saja untuk melindungi kenangannya.
Aaaah,
nenek.. saya merindukan nenek. Saat ini saya berada di kamar yang berbeda, jauh
berbeda dari kamar nenek, tapi nenek tahu, masih di tempat yang sama.
Berharap
tempat nenek saat ini adalah tempat terbaik dari Allah.
Saya juga
akan terus melindungi kenangan bersama nenek.
Berharap
kenangan kita tidak akan ternodai oleh kerasnya hati yang tidak menerima maaf.
Saya akan
berusaha meski berat nek.
Seperti
nenek yang pemaaf.
Semoga kelak
kita dipertemukan ditempat yang baik.
aamiin.