Kamis, 16 Mei 2013

Bahu Nenek



“Tidur, bukannya tidak mau atau mungkin tidak bisa.
Saya hanya takut terjaga.
Bisakah bertemu mimpi jika khawatir yang menutup mata ?
Tidurlah, dan hiduplah dengan tenang!”

Itu beberapa kalimat yang saya catat sewaktu menemani nenek dulu.
Saat menemani nenek tidur, saya selalu khawatir nenek akan pergi tiba-tiba.
Saat itu memang nenek sudha sakit-sakitan.
Tanpa saya sadari kadang saya tertidur dengan menatap bahu nenek.
Lewat bahu nenek, saya tahu nenek belum pergi.
Lewat bahu nenek, saya tahu saat nenek menangis tertahan.
Lewat bahu nenek, saya tahu saat nenek merindukan kakek.
Lewat bahu nenek, saya tahu nenek tidur sambil menatap buku.

Iyah, buku yang bertuliskan tanggal kepergian kakek.
Selarut apapun malam, nenek akan dengan betah menatap buku  catatan beliau yang bertuliskan tanggal kepergian kakek di belakang sampulnya. Lagi, bahkan setiap kali terjaga dibukanya kembali buku itu atau hanya sekedar memperbaiki letak buku, nenek akan terus menatap tanggal kepergian kakek. Meski hanya dengan diterangi sinar senter kecil miliknya, dalam kamar redup yang selalu jadi alasannya untuk tidak berlama-lama di rumah anaknya yang lain.

Nenek tidak akan bertahan dalam waktu lama untuk tinggal di rumah anak-anaknya. Beliau selalu merindukan tempat beliau dan kakek menghabiskan waktu sebelum kakek pergi. Nenek akan bertahan ditempat itu, meski harus mengorbankan perasaannya. Mungkin saja untuk melindungi kenangannya.

Aaaah, nenek.. saya merindukan nenek. Saat ini saya berada di kamar yang berbeda, jauh berbeda dari kamar nenek, tapi nenek tahu, masih di tempat yang sama.
Berharap tempat nenek saat ini adalah tempat terbaik dari Allah.
Saya juga akan terus melindungi kenangan bersama nenek.
Berharap kenangan kita tidak akan ternodai oleh kerasnya hati yang tidak menerima maaf.
Saya akan berusaha meski berat nek.
Seperti nenek yang pemaaf.
Semoga kelak kita dipertemukan ditempat yang baik.
aamiin.



Bahu Nenek



“Tidur, bukannya tidak mau atau mungkin tidak bisa.
Saya hanya takut terjaga.
Bisakah bertemu mimpi jika khawatir yang menutup mata ?
Tidurlah, dan hiduplah dengan tenang!”

Itu beberapa kalimat yang saya catat sewaktu menemani nenek dulu.
Saat menemani nenek tidur, saya selalu khawatir nenek akan pergi tiba-tiba.
Saat itu memang nenek sudha sakit-sakitan.
Tanpa saya sadari kadang saya tertidur dengan menatap bahu nenek.
Lewat bahu nenek, saya tahu nenek belum pergi.
Lewat bahu nenek, saya tahu saat nenek menangis tertahan.
Lewat bahu nenek, saya tahu saat nenek merindukan kakek.
Lewat bahu nenek, saya tahu nenek tidur sambil menatap buku.

Iyah, buku yang bertuliskan tanggal kepergian kakek.
Selarut apapun malam, nenek akan dengan betah menatap buku  catatan beliau yang bertuliskan tanggal kepergian kakek di belakang sampulnya. Lagi, bahkan setiap kali terjaga dibukanya kembali buku itu atau hanya sekedar memperbaiki letak buku, nenek akan terus menatap tanggal kepergian kakek. Meski hanya dengan diterangi sinar senter kecil miliknya, dalam kamar redup yang selalu jadi alasannya untuk tidak berlama-lama di rumah anaknya yang lain.

Nenek tidak akan bertahan dalam waktu lama untuk tinggal di rumah anak-anaknya. Beliau selalu merindukan tempat beliau dan kakek menghabiskan waktu sebelum kakek pergi. Nenek akan bertahan ditempat itu, meski harus mengorbankan perasaannya. Mungkin saja untuk melindungi kenangannya.

Aaaah, nenek.. saya merindukan nenek. Saat ini saya berada di kamar yang berbeda, jauh berbeda dari kamar nenek, tapi nenek tahu, masih di tempat yang sama.
Berharap tempat nenek saat ini adalah tempat terbaik dari Allah.
Saya juga akan terus melindungi kenangan bersama nenek.
Berharap kenangan kita tidak akan ternodai oleh kerasnya hati yang tidak menerima maaf.
Saya akan berusaha meski berat nek.
Seperti nenek yang pemaaf.
Semoga kelak kita dipertemukan ditempat yang baik.
aamiin.