Aku & Tumpukan Luka

Ada satu hal memalukan yang belakangan mulai kusadari saat berinteraksi online di grup-grup WhatsApp yang kupunya. Ke-AKU-anku yang beberapa kali kutuliskan dan membuatkanku menyesalinya beberapa menit setelah pesan terkirim. Misal saat aku memperkenalkan bahwa salah satu tema yang dipuji itu berasal dari ideku. Mungkin masih menggunakan kalimat yang biasa saja bagi sebagian orang, tapi menurutku aku harus lebih bijak tanpa perlu mengakuinya.


Setelah mengikuti sesi zoom healing di kelas Writing Healing Journey, aku mulai menyadari bahwa hal yang tidak bisa ku kontrol ini berasal dari tumpukan luka serupa sejak kecil sampai saat ini.


Iya, ada Rati kecil yang selalu berusaha menjadi juara di kelasnya untuk mendapatkan pengakuan dari ibunya sebagai guru di sekolah tersebut. Tapi pengakuan itu tidak didapatkannya, justru amarah atau sindiran-sindiran sarkas karena merasa dipermalukan saat dia mendapatkan juara 2.


Ada juga Rati diusia SMP yang untuk pertama kalinya keluar dari zona kesepian di masa SD yang dihindari teman-temannya. Rati di masa ini akhirnya merasakan bagaimana rasanya punya teman yang tidak memandangnya sebagai anak guru. Ia kadang harus mengalah saat teman baiknya cemburu dan memilih tidak bicara dengannya jika nilai ujiannya lebih tinggi dari temannya yang selalu juara satu di kelas.


Rati di masa SMA sudah melupakan tentang peringkat kelas, hal ini juga memudar karena ekspektasi dari ibunya pun mulai menurun mengingat dia kini bersekolah di kota besar berbeda saat di kampung dulu. Hanya saja, hal-hal yang menjadi kerja kerasnya dengan senang hati diberikannya buat teman-temannya. Dia tak dapat juara kelas lagi, tapi teman yang selalu disokongnya saat ujian yang meraih tempat itu. Perasaannya, sedikit sedih tapi tidak apa-apa selama dia tidak kehilangan teman.


Melalui perjalanan demi perjalanan di masa kuliah yang menyenangkan, Rati sudah mulai mengenali dirinya, fokus pada apa yang disenanginya dan totalitas pada amanahnya. Hanya saja, dia sadar, dalam beberapa hal kerja kerasnya lagi-lagi tidak diakui. Ada seseorang yang sudah disiapkan kakak seniornya yang selalu dibawa kemanapun bersama mereka, bahkan diperkenalkan sebagai "The Next Pengganti" ke para ustadzah di mana-mana. Tidak mengapa sebenarnya, hanya yang menerima jabatan tangan berikutnya jadi merasa bukan siapa-siapa, dan itu Rati.


Ada pula masa dia bersemangat berbagi dan mengeluarkan ide-ide baru untuk komunitasnya, tapi ditolak begitu saja tanpa alasan. Namun saat temannya yang mengajukan ide tersebut, diterima dengan sangat baik dan disetujui. Padahal idenya sama, sekali lagi dia merasa kecil.


Setelah menikah, harapan untuk memiliki teman cerita dalam suka dan duka pupus setelah belajar dari luka-luka yang didapatinya. Rati, merasa tidak punya ruang untuk berkeluh kesah. Ketika menceritakan beratnya hari-hari yang dilaluinya, yang ia dapati adalah label sebagai orang yang tidak bersyukur.


Luka serupa yang ditebaskan dalam selang waktu berbeda ini rupanya berdampak buatku. Aku serasa haus akan apresiasi dan pengakuan. Ketika ada celah sedikit, tanpa sadar aku muncul mengklaim usaha-usahaku. Aduh malunya.


Setelah aku pikir-pikir lagi, rupanya aku tidak selalu seperti ini di semua grup online. Hanya di tempat-tempat dimana aku merasa diterima dan apresiasi sering kudapatkan. Layaknya anak kucing yang menyodorkan kepala untuk dielus. Akupun seolah menyodorkan usaha-usahaku untuk diapresiasi. Astaghfirullah wa atubu ilaih.


Tidak bermaksud sombong, na'udzubillah. Bukan pula berniat membebani orang-orang yang sudah menerimaku. Hanya saja ini adalah salah satu hal yang baru kusadari dan sulit kukontrol diawal. Berharap dengan menuliskan ini aku bisa lebih "aware" dengan hal ini dan bisa mengontrolnya lebih awal.


Rabb, aku sadar aku terluka, alhamdulillah ala kulli haal. Aku pun tahu luka ini tidak sedikit, sungguh karena kasih sayang-Mu duhai Rabb. Sembuhkan aku duhai Rabbi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Canvas Passion to Project Passion

Luka, kala itu..

2. Mentoship : Tujuan & Mengukur Kemampuan | Kupu-kupu