Dear Diriku di Masa Lalu

Dear diriku di masa kecil yang kuperjuangkan lukanya untuk pulih karena Allah..


Hai tii kecil..

Menyusuri kenangan-kenangan bersamamu cukup membuatku deg-degan dengan beragam perasaan yang tak tergambarkan. Bingung untuk memulai dari mana, tapi aku memilih apresiasi.


Terima kasih sudah bersabar menghabiskan banyak waktu untuk main sendiri di masa kecil. Menerima adikmu dan temannya sebagai teman mainmu, atau kakak kelas yang selalu menjadikanmu anak bawang. Sesekali mengintip ke halaman sekolah dari balik pintu kantor ruang guru, hanya untuk menonton keseruan teman sekelasmu bermain. Atau memilih bekerja di kantin sekolah agar mendapatkan uang jajan. Bukan salahmu ketika teman² sekelasmu takut bermain denganmu. Bukan salahmu menjadi anak guru yang disegani teman-temanmu. Jangan menyalahkan dirimu sendiri yaa tii..


Ada kalanya saat bahagia memiliki teman sekelas itu kau rasakan saat ada murid pindahan bersedia bermain denganmu. Hmm sepekan? sebulan? Lalu dia bergabung dengan teman-teman sekelas lainnya, dan kau sendiri lagi.

Tidak apa-apa tii, ada aku yang bangga dengan masa kecilmu. Menghabiskan waktu di perpustakaan, belajar dengan giat dan belajar dari pengalaman-pengalamanmu.


Maasya Allah tabaarokallahu.. mengulik lagi tentang masa kecilmu, membuatku tersadar bahwa kamu selalu bisa belajar dari pengalamanmu.


Apakah kamu ingat, saat-saat kesepian sepulang sekolah, yang kau dapati hanya rumah yang kosong. Papa sudah ke kebun, Mama masih di sekolah, begitu juga dengan saudara-saudaramu yang masih d sekolah. Maka kau memutuskan untuk pergi bermain ke rumah teman barumu. Senang yaa kalau ada murid baru, kamu bisa punya teman sebaya. Hal yang jarang kamu dapatkan sehingga bermain dengannya membuatmu lupa waktu dan pulang kesorean. Aduuuh, kamu lupa minta izin sebelum pergi bermain tii, aku bisa membayangkan ketakutanmu saat itu untuk kembali ke rumah. Tapi mau tak mau kamu harus pulang kan tii, hari semakin gelap.


Sampai di rumah, entah kemarahan seperti apa yang kamu alami. Aku hanya mengingat kamu yang memeluk beberapa bajumu yang sudah dibungkus dengan kain sarung, tengah berteduh di bawah atap samping rumah karena diusir Mama dari rumah. Iya, pas sekali sore itu hujan deras. Selanjutnya bagaimana ? Aku lupa tii. Apa kamu mengingatnya ? Luka seperti apa yang kau sembunyikan saat itu hingga melupakannya tii ?

Alhamdulillah ala kulli haal..

Pelajaran yang berharga yaa tii. Sejak saat itu, tak berani lagi kau keluar dari rumah tanpa izin orang rumah. Alhamdulillah saat ini pun kau terapkan saat sudah berkeluarga. Izin dari suami sangat penting bagimu. Terima kasih sudah belajar dari setiap pengalamanmu sayang.


Rasanya belum cukup lama menyapamu saat ini. Namun bolehkah kujeda dulu tii. Aku rasanya tak sanggup melihat luka-lukamu yang lain. Sulit membayangkan anak sekecil kau saat itu harus bergulat dengan luapan perasaan yang besar, yang tak ada seorang pun bersedia mendengarkan ceritamu. Aku ingin memelukmu, meratapi sedih dan lukamu.


Maukah kau belajar dari pengalamanmu sekali lagi tii?

Dengarkan cerita anak-anakmu saat ini yaa. Jangan kerasi tii, berlemah lembutlah tii. Please... Aku mohon...

Jangan biarkan luka ini justru menjadikan anakmu Rati kecil yang dulu. Rabb, toloooong. Hanya kepada Engkaulah hamba memohon Pertolongan.


Membaik yaa tii.. Aku tak berjanji bisa selalu ada. Tapi aku akan kembali mendengarkan ceritamu dilain waktu. Baarokallahufiiki..


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Canvas Passion to Project Passion

Luka, kala itu..

2. Mentoship : Tujuan & Mengukur Kemampuan | Kupu-kupu